
Secarik Cerita Kepergianmu
Tepat sebulan lalu, 22 Agustus 2025 akhirnya kamu benar-benar pergi dari kehidupanku untuk selamanya. Sekali lagi…untuk selamanya. Bukan karena ego kita, tapi karena Tuhan yang begitu sayang padamu dan gak tega ngebiarin kamu meregang sakit semakin lama.
Tapi, sepertinya aku sulit untuk mensyukurinya bang…
Sekian lama aku menunggu, sekian lama kamu berharap, ternyata harus begini akhirnya.

Awal 2025 saat aku mulai membenahi iman dan ibadahku, salah satu doaku adalah kesembuhanmu dan imanmu kepadaNya. Sering kali saat berdoa, yang keluar bukan lagi kata-kata doa tapi tangisan saat mengingatmu yang kesakitan. Harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menyedot cairan-cairan dari tubuhmu.
Sejak kita pacaran sampai menikah, kamu paling jarang sakit dibanding aku. Paling juga sakit yang paling parah itu ada 2 kali. Cacar air dan kesiram air panas mandian mamamu.
Sedangkan aku, kamu udah taulah yaa….Gak perlu dipublikasikan lagi. Hehe…
Tapi kali ini, kamu sakit serius serius serius banget. Sudah sekitar 2 tahun. Walaupun di awal-awal sakit kamu masih sering bandel.
Dan seiring sakitmu yang semakin parah, ketampananmu yang bikin aku jatuh hati dulu mulai ternoda karena penyakit yang membuat kulitmu semakin hitam dan tubuhmu yang makin kurus.
Namun begitupun, Titi – anak semata wayang kita, buah cinta kita – tetap sayang banget samamu. Bahkan sampai di saat terakhirmu pergi pun, dia yang ada di sampingmu. Kalian sama-sama tidur malam itu…

Sekitar Jam 3 subuh hari Jumat taggal 22 Agustus 2025, kamu menghembuskan nafas terakhirmu setelah malam itu kamu bolak balik diberi oksigen tambahan.
Dan sebelumnya, kamu sudah opname 3 hari dan ngomongmu semakin ngelantur.
“Mana Titi?”
“Kenapa Mama Titi cepat sekali balik?”
“Mamak kan udah gak ada”
Dulu, saat kita menghabiskan hampir 5 tahun masa pacaran, aku yang selalu bilang samamu, “kok cepat kali sih baliknya?” Hehe, karena kamu udah kebelet mau pulang nonton bola padahal aku kan masih kangen. Hehehe…
Dan setelah terikat pernikahan selama 20 tahun, akhirnya kita dipisahkan oleh kematian.



Sampai saat aku menulis secarik cerita ini pun aku masih menangis tapi masih belum percaya kamu udah meninggal bang…
Satu hal yang paling aku syukuri kepada Tuhan, Tuhan menjawab doaku. Kamu tau apa doaku bang?
Aku itu selalu berdoa meminta dan memohon Tuhan mengirimkan Roh Kudusnya berbicara kepadamu dan kamu pun sempat menerima Roti dan Anggur Perjamuan Kudus dari Pendeta dan dengan suara lantang kamu bilang Amen.
Suara lantang itu memang tidak sekeras suaramu saat pertama kali kamu bilang, “Abang mau serius samamu dek” 25 tahun lalu bang…

Hanya beberapa kali aku memimpikanmu setelah kepergianmu bang. Tidak sesering saat kamu masih hidup. Aku mungkin tidak bisa membujuk Tuhan untuk menghidupkanmu sebentar saja.
Hanya kenangan-kenangan yang bisa membuatmu hidup di dalam hati dan pikiran. Dan itu yang membuatku lebih semangat memperbaiki ibadah dan imanku. Berharap kita bisa ketemu lagi nanti bang…
Dan aku selalu membayangkan saat kita ketemu lagi nanti, aku bisa kembali tersenyum dan tersipu malu seperti saat aku mengatakan, “Ya bang, aku juga mau kita ke tahap yang serius“…25 tahun lalu.
Kamu seperti tidur bang…

Tetap ada senyum di wajahmu. Kamu sudah tenang sambil menunggu kita berkumpul kembali. Aku yang hanya bisa tertunduk dan diam menangis saat menghadap jasadmu.
Kita sama-sama punya penyesalan. Kita sama-sama butuh pertobatan. Kita sama-sama berharap. Kita sama-sama menunggu. Namun bedanya, saat ini tinggal aku yang menunggu. Still love you bang…


